Bila berbicara pasukan elit,
pikiran awam akan langsung pada pasukan elit milik TNI seperti Kopassus,
Denjaka, Kopaska dan lain-lain. Padahal Jauh di masa lalu ketika hiruk-pikuk
mesin perang dan konfrontasi bersenjata masih meliputi air, udara, dan tanah
Indonesia, ketika Republik ini masih berusia seumur jagung, ketika pemerintah
berjuang mempertahankan keberadaan Republik yang masih belia ini dari serangan
penjajah Belanda dan rongrongan pemberontak, dari tubuh kepolisian Negara Republik
Indonesia, lahir pasukan khusus yang memiliki kemampuan dan keberanian
menggetarkan.
Sebuah pasukan yang dihormati
oleh kawan dan disegani lawan.
Reputasi yang didapat pasukan
ini bukan berasal dari serangkaian pencitraan, bukan pula dari mitos yang
diagungkan melalui berbagai media layaknya mitos-mitos pasukan khusus yang kita
dengar sekarang, melainkan melalui rangkaian perjuangan panjang yang menuntut
keuletan, keterampilan, ketabahan, ketahanan, keberanian, dan upaya yang
terkadang melampaui kesanggupan manusia normal.
Sebenarnya, hal-hal tersebut
biasa bagi para prajurit, mengingat bahwa mau tidak mau mereka harus siap
diturunkan di berbagai medan, namun yang membedakannya, atau yang membuat
mereka layak diberi sandangan sebagai pasukan khusus adalah, hasil dan kearifan
mereka dalam menjalankan tugas.
Pada masa kejayaannya, Resimen
Pelopor, nama pasukan tersebut merupakan sebuah “mesin perang” yang efektif dan
efesien. Setidaknya mereka merupakan gambaran ideal dari sebuah pasukan khusus:
berani, berkemampuan tinggi, efektif dan efesien dalam menjalankan tugas.
Di manapun mereka diturunkan, di
manapun mereka ditugaskan, para anggota pasukan ini seolah memiliki semboyan
bahwa penugasan itu adalah penugasan terahir, sehingga mereka memiliki semangat
yang meluap-luap.
Sayangnya, gelombang sejarah
menenggelamkan kesatuan ini dalam palung terdalam. Ketika terjadi pergantian
penguasa, keberlangsungan pasukan inipun berakhir. Kerja keras, pengorbanan,
jasa, dan risalah mereka turut terkubur hingga seolah mereka tidak pernah ada.
Yang lebih ironis lagi, kisah
kehebatan mereka nyaris tak ditulis dalam sejarah dan hanya menjadi cerita
pengantar tidur anak-anak, cucu, dan saudara terdekat para mantan anggota
pasukan tersebut.
Pasukan dari Kepolisian ini pada
awalnya dibentuk bukanlah untuk tujuan agar menjadi sebuah pasukan elit. Namun
peranan dan kiprah merekalah pada masa perang kemerdekaan, yang membuat nama
mereka semakin melambung.
Pasukan ini bertempur bersama
TNI dan rakyat melawan penjajah yang dua kali melakukan agresi. Sebagai negara
yang baru merdeka, masa pendidikan pasukan perang Indonesia tidak melalui
tahapan rumit ataupun seleksi ketat seperti sekarang.
Yang paling penting pada masa
itu adalah merekrut sebnanyak-banyaknya pemuda bangsa untuk dijadikan pasukan
memerangi penjajah. Bahkan untuk persenjataan ringan seperti senapan saja,
pemerintah masih kesulitan memfasiliatsinya.
Di medan pertempuran, para
pejuang awal bangsa ini merebut senjata dari musuh yang berhasil dibunuh, malah
terkadang mereka melakukan aksi nekat menyerbu gudang persenjataan milik musuh.
Dewasa ini, Brigade Pelopor yang
meruupakan bagian dari Korps Brimob Polri mendapat reputasi dan stigma negatif
dari masyrakat. Banyak kasus yang terjadi semakin memojokan Brimob, seperti
perkelahian oknum Brimob dengan Oknum TNI yang memakn korban luka maupun nyawa.
Citra polisi yang semakin buruk
semakin memperkeruh hal semacam ini. Padahal bila diteisik lebih dalam,
kesalahan berasal dari beberapa oknum bukan institusi. Terlepas dari itu semua,
peranan Brimob yang dulu bernama Mobil Brigade (Mobrig) semasa perang
mempertahankan kemerdeaan patut menjadi tauladan bangsa. Pikiran mereka saat
itu masih bersih dan murni yaitu perang melawan penjajah. Pertempuran itu
sebhagian dilakoni oleh Brigade Pelopor.
PERTEMPURAN DI TAPANULI SELATAN- Padang Sidempuan Jatuh Ke Tangan Pasukan Belanda
Pasukan Mobrig, TNI dan rakyat Tapanuli Selatan bertempur bersama dalam pertempuran sengit ini. Setelah mendapat gempuran bertubi-tubi dari laut (teluk tapanuli), Sibolga akhirnya jatuh ke tangan Belanda tanggal 20 Desember 1948.
Dengan jatuhnya ibukota Tapanuli itu maka wilayah Tapanuli terjepit. Lantas, pemerintah republik di Tapanuli memutuskan untuk melebur semua laskar perjuangan yang ada (termasuk yang mengungsi) di seluruh wilayah Tapanuli di bawah komando Mayor Maraden Panggabean.
Pimpinan komando lalu menugaskan pasukan republik Brigade-B pimpinan Mayor Bejo untuk segera menahan serangan pasukan Belanda yang sudah bergerak menuju Padang Sidempuan. Pada tanggal 28 Desember 1948, pasukan Belanda kemudian tiba di Batangtoru.
Untuk menahan akselerasi pasukan Belanda dari arah Sibolga, pasukan republik yang dimotori laskar Padang Sidempuan eks anggota Kapten (anm) Koima Hasibuan untuk melakukan taktik pencegatan dan bumi hangus. Karenanya, seluruh jembatan yang menuju Padang Sidempuan diruntuhkan.
Pohon-pohon yang berdiri sepanjang jalan raya ditumbangkan ke tengah jalan, jalan-raya yang rata diberi berlubang dimana-mana agar kendaraan militer Belanda tidak dapat melewatinya, dan bangunan-bangunan yang kemungkinan akan digunakan Belanda untuk markasnya lalu dibakar dan diruntuhkan.
Inilah salah satu bukti pengorbanan rakyat dan laskar rakyat Padang Sidempuan dalam mengusir kedatangan (pasukan) Belanda ke Padang Sidempuan kembali. Semua taktik bergerilya yang dilakukan laskar republik ketika itu ternyata pasukan Belanda tetap saja merangsek.
Pasukan Belanda yang berpengalaman perang, lengkap dengan persenjataan dan kendaraan lapis baja ternyata mampu mengatasi rintangan yang ada.
Pasukan Belanda tampaknya mengungguli pasukan republik. Akhirnya, pada tanggal 1 Januari 1949 pasukan Belanda berhasil memasuki wilayah Padang Sidempuan. Setiba di dalam kota, pasukan Belanda tampaknya ‘kecele’ karena menemukan ibukota Padang Sidempuan itu sudah dibumihanguskan–seperti halnya ‘Bandung lautan api’ 24 Maret 1946.
Pasukan Belanda juga menemukan kota dalam keadaan kosong karena telah ditinggalkan rakyat Padang Sidempuan mengungsi ke luar kota. Pasukan Belanda tampaknya tidak menduga apa yang telah dilalui dan yang terjadi di depan mata. Sebaliknya, apa yang telah dilakukan oleh pasukan gerilya telah menunjukkan bukti bahwa pasukan gerilya dapat membuat nyali pasukan Belanda menjadi selalu waswas dan mungkin keberaniannya bisa jadi telah mengendor.
Pemerintah republik di Padang Sidempuan pimpinan Bupati Sutan Doli Siregar, Patih Ayub Sulaiman Loebis, dan Wedana Maraganti Siregar dan kepala persediaan makanan (logistik) rakyat Kalisati Siregar juga telah meninggalkan Padang Sidempuan menuju Sipirok (ibukota Kewedanaan Siprirok).
Dari Sipirok para pimpinan itu direncanakan unuk meneruskan perjalanan ke Panyabungan (sebagai ibukota Kabupaten Batang Gadis). Di Kewedanaan Sipirok sendiri, antisipasi perlawanan terhadap pasukan Belanda sudah terbentuk dan dilakukan oleh laskar rakyat yang dinamakan AGS (Angkatan Gerilya Sipirok).
AGS ini dipimpin oleh Sahala Muda Pakpahan yang bertugas sebagai komandan dengan wakilnya Maskud Siregar.
Komando angkatan gerilya Sipirok ini selanjutnya menjadi sangat penting untuk melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda dan membuat pertahanan di Sipirok dan penyerangan ke daerah induk Padang Sidempuan. AGS ini sendiri sesungguhnya baru dilantik oleh Wedana sekaligus PPK (Pimpinan Pertahanan Kewedanaan) Sipirok tanggal 3 Januari 1949.
Sejumlah eks laskar yang terpukul mundur dari Sumatera Timur dan telah mengungsi di Sipirok lalu direkrut untuk memperkuat barisan AGS. Anggota laskar yang menganggur itu diantaranya para anak buah Kapten Koima Hasibuan, eks pasukan ‘Naga Terbang’ dan sejumlah anggota kepolisian Sipirok.
Para laskar ini lalu seluruhnya dipersenjatai senapan locok yang hanya itu yang ada ketika itu. Dalam tempo yang realtif singkat, kekuatan barisan AGS sudah memadai dan siap untuk melakukan pertempuran besar.
Pada tanggal 5 Januari 1949 pasukan republik melancarkan serangan terhadap Belanda yang menduduki Padang Sidempuan dari Sipirok, dan berhasil masuk ke dalam kota. Akan tetapi balasan mortir yang bertubi-tubi dihamburkan pasukan Belanda bukan imbangan pasukan republik dalam pertempuran itu.
Pasukan republik ini terpaksa mundur dan kembali ke Sipirok dengan membawa serta pejuang yang gugur dan anggota pasukan yang terluka. Selanjutnya pada tanggal 21 Januari 1949 kota Sipirok diserang oleh pasukan Belanda, dan pemerintahan republik di Sipirok terpaksa mengungsi ke Arse dan markas AGS terpaksa dipindahkan ke bukit Maondang (tiga kilometer dari Sipirok).
Pada tanggal 30 Januari 1949, Binanga Siregar selaku Wakil Residen Tapanuli mengunjungi bukit Maondang dan Arse di Tapanuli Selatan untuk menyaksikan dari dekat pertahanan republik di garis depan. Keesokan harinya Wakil Residen bersama Wedana Sipirok berpidato dihadapan rakyat tentang isi surat Residen Tapanuli ketika itu yang mengutip berita-berita yang disiarkan “All Indian Radio” dan “Radio Australia”, bahwa Indonesia telah berhasil melakukan diplomasi di PBB.
Patroli Pasukan KNIL
Pada tanggal 1 Februari 1949 Ayub Sulaiman Lubis dan Kalisati
Siregar (Patih dan Kepala Logistik Padang Sidempuan) berangkat ke Batang
Angkola rute gerilya dan selanjutnya meneruskan perjalanan ke Panyabungan
(ibukota Kabupaten Batang Gadis).
Keesokan harinya jalan yang sama dilalui pula oleh Binanga
Siregar (Residen ‘adinterim’ Tapanuli), Sutan Doli Siregar (Bupati Padang
Sidempuan/Bupati Tapanuli Selatan yang pertama), Abdul Hakim Harahap (Wakil Residen
Tapanuli), dan Maraganti Siregar (Wedana Sipirok) untuk mengabarkan
keberhasilan bangsa Indonesia di PBB untuk bidang diplomatik kepada masyarakat
di pedalaman.
Selanjutnya setelah pasukan Belanda mengetahui pemerintah
republik telah meninggalkan Sipirok dan membuat pos di Arse, maka pada tanggal
17 Februari 1949 pasukan Belanda melanjutkan serangannya. Lantas pemerintahan
Padang Sidempuan dan Kewedanaan Sipirok dipindahkan ke Simangambat. Sipirok
sendiri masuk daerah pendudukan Belanda dan Arse adalah garis demarkasi yang
menjadi teitori pihak Belanda. Pengungsian rakyat telah berlangsung sejak 7
Maret 1949.
Pasukan Belanda yang terus menyerang itu pada dasarnya terdiri
dari pasukan-pasukan yang bermarkas di Sipirok. Setiap pasukan umumnya terdiri
hanya dua orang militer asli Belanda dengan perlengkapan militer lengkap tetapi
didukung sejumlah anggota pasukan lainnya yang notabene merupakan orang-orang
berkulit coklat yang mungkin berasal dari anak bangsa kita sendiri.
·Peretempuran Benteng Huraba di Tapanuli Selatan Sumatera Utara
Dalam perkembangan selanjutnya, pasukan Belanda yang semakin
menguat di Parapat lambat laun berhasil menguasai Tapanuli bagian utara seperti
Porsea, Balige dan Tarutung. Dengan semakin derasnya aliran pasukan Belanda
yang dikerahkan di Sumatera Timur dan Tapanuli, pihak Belanda tampaknya ingin
segera menguasai seluruh wilayah Keresidenan Tapanuli terutama Sibolga sebagai
ibukota Keresidenan.
Pasukan Belanda berharap jika Sibolga sudah dikuasai, sementara
Padang (Sumatera Barat) sudah lebih dahulu dikuasai, maka pasukan Belanda
merasa mudah menguasai Padang Sidempuan dan wilayah Tapanuli Selatan.
Pasukan Belanda berharap Dengan dikuasainya Padang Sidempuan dan
sekitarnya, maka terbuka lebar untuk menjepit salah satu pasukan terkuat RI
yang ada di Bukittinggi. Ini jelas, suatu rencana yang sangat taktis dan
strategis. Selanjutnya, pasukan Belanda melancarkan agresi militer
kembali. Dalam agresi militer Belanda yang kedua ini yang dimulai pada 19
Desember 1948 dengan melakukan serangan terhadap Yogyakarta, Ibukota Republik
Indonesia.
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta ditangkap
dan dibuang ke Brastagi. Akibatnya ibukota Republik Indonesia dipindahkan ke
Bukittinggi dengan dibentuknya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI)
pada tanggal 22 Desember 1948 (dan berakhir tanggal 13 Juli 1949).
PDRI yang berkedudukan di Bukittinggi dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara.
Sementara, di Tapanuli pasukan Belanda melakukan serangan ke Sibolga baik dari
laut, darat dan maupun udara. Akhirnya kota Sibolga jatuh ke tangan pasukan
Belanda pada tanggal 20 Desember 1948.
Dengan jatuhnya ibukota Tapanuli itu, pemerintah RI memutuskan
untuk melebur semua pasukan dan laskar yang ada. Pemerintah republik menugaskan
pasukan republik dibawah pimpinan Mayor Bejo menahan serangan serdadu Belanda
yang tengah menuju Padang Sidempuan dari arah Sibolga. Pada tanggal 28 Desember
1948, pasukan Belanda telah tiba di jembatan Batangtoru.
Jembatan sepanjang hampir 100 meter sebelah timur kota Batangtoru
itu telah terlebih dahulu dirusak pasukan MBK agar tidak dapat dimanfaatkan
pasukan Belanda. Sementara itu Brigade-B yang posnya berada di Padang Sidempuan
menyongsong menuju Batangtoru. Penghadangan terhadap pasukan Belanda dilakukan
di jembatan Batangtoru.
Dalam pertempuran yang tidak sebanding itu pasukan Belanda yang
dibantu dengan pesawat tempur dari bandara Pinangsori akhirnya dapat memukul
mundur pasukan Brigade-B dan MBK Tapanuli. Kedua pasukan ini
akhirnya mundur ke Padang Sidempuan.
Setelah Batangtoru berhasil
direbut, selanjutnya pasukan Belanda mengebom kota Padang Sidempuan dengan dua
pesawat tempur. Pasukan Brigade-B dan MBK Tapanuli menyingkir dan mundur ke
Penyabungan. Untuk menahan masuknya pasukan Belanda dari arah Sibolga, pasukan
dan para laskar diperintahkan melakukan taktik rintangan dan bumi hangus.
Seluruh jembatan yang menuju ke
Padang Sidempuan diruntuhkan, pohon-pohon besar yang tumbuh sepanjang
jalan-raya ditumbangkan ke tengah jalan, permukaan jalan yang rata diberi
berlobang dimana-mana.
Semua itu dilakukan agar
kendaraan militer pasukan Belanda tidak dapat melewatinya atau paling tidak
untuk membuatnya bergerak tersendat-sendat. Sementara itu, bangun-bangunan dan
gedung yang masih berdiri yang kemungkinan akan digunakan Belanda untuk
markasnya dibakar atau diruntuhkan.
Pasukan Belanda akhirnya
memasuki Padang Sidempuan pada tanggal 1 Januari 1949. Pasukan Belanda
mendapati ibukota Angkola itu sudah habis di bumi hangus yang ditinggalkan
warganya.
Pemerintah RI Kabupaten Tapanuli
Selatan pimpinan Bupati, Sutan Doli Siregar,
Patih, Ayub Sulaiman Lubis, dan Wedana Maraganti Siregar dan kepala persediaan makanan rakyat Kalisati Siregar juga telah meninggalkan Padang
Sidempuan menuju Sipirok. Lantas mereka ini meneruskan perjalanan ke
Panyabungan.
Di Sipirok, perlawanan terhadap
serangan pasukan Belanda dilakukan oleh AGS (Angkatan Gerilya Sipirok) pimpinan Sahala Muda Pakpahan (“Jendral Naga
Bonar”) yang
bertugas sebagai komandan dengan wakilnya Maskud
Siregar. AGS ini baru dilantik oleh Wedana sekaligus PPK
(Pimpinan Pertahanan Kewedanaan) Sipirok pada tanggal 3 Januari 1949 dibawah
komando Brigade-B pimpinan Mayor Bejo.
Anggota AGS ini diantaranya
bekas para laskar yang terpukul mundur dari Sumatera Timur dalam agresi militer
Belanda yang pertama antara lain: bekas pasukan Naga Terbang, bekas anak buah
Kapten Koima Hasibuan, anggota kepolisian Sipirok yang seluruhnya dipersenjatai
dengan senapan locok yang ada ketika itu.
Pada tanggal 5 Januari 1949
pasukan republik melancarkan serangan terhadap Belanda yang
menduduki Padang Sidempuan dari Sipirok, dan berhasil masuk ke dalam kota.
Akan tetapi balasan mortir yang bertubi-tubi dihamburkan pasukan Belanda bukan
imbangan pasukan republik.
Pasukan republik ini harus
mundur dan kembali ke Sipirok dengan membawa serta anggota yang gugur dan
terluka.
Pada tanggal 21 Januari 1949
kota Sipirok diserang oleh pasukan Belanda dan Pemerintahan RI di kota itu
terpaksa mengungsi ke Arse dan markas AGS terpaksa dipindahkan ke Bukit Maondang
(tiga kilometer dari Sipirok). Pada tanggal 30 Januari 1949, Binanga Siregar selaku Wakil Residen Tapanuli mengunjungi Bukit Maondang dan Arse di
Tapanuli Selatan untuk menyaksikan dari dekat pertahanan republik di garis
depan.
Keesokan harinya Wakil Residen
bersama Wedana Sipirok berpidato dihadapan rakyat tentang isi surat Residen
Tapanuli ketika itu yang mengutip berita-berita yang disiarkan: “All Indian
Radio” dan “Radio Australia”, bahwa rakyat Indonesia telah berhasil melalui
diplomasi di PBB. Juga tentang akan adanya penyerahan kedaulatan kepada
Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh pemerintah Belanda di Den Haag.
Pada tanggal 1 Februari 1949
Ayub Sulaiman Lubis dan Kalisati Siregar berangkat ke Angkola Jae untuk
melanjutkan perjalanan ke Mandailing. Keesokan harinya jalan yang sama dilalui
pula oleh Binanga Siregar, Sutan Doli Siregar, Sutan Hakim Harahap,
dan Maraganti Siregar guna mengabarkan keberhasilan bangsa Indonesia di PBB
untuk bidang diplomatik kepada masyarakat di pedalaman.
Mengetahui pemerintah Tapanuli
Selatan telah meninggalkan Sipirok, maka pada tanggal 17 Februari 1949 pasukan
Belanda melanjutkan serangannya ke Bunga Bondar.
Pada tanggal 8 Mei 1949,
serdadu-serdadu Belanda berikut kendaraan lapis baja mereka meneruskan
penyerangan ke Arse. Meski dalam setiap langkah agresi yang dilakukan pasukan
Belanda, pasukan Republik menunjukkan perlawanan. Akhirnya pemerintah Tapanuli
Selatan terpaksa mengungsi meninggalkan Arse menuju Simangambat.
Pertempuran
Benteng Huraba: Merebut Kembali Padang Sidempuan
Dengan jatuhnya kota Padang
Sidempuan ke tangan pasukan Belanda dan kekalahan yang dialami pasukan dan
laskar rakyat, maka di wilayah pertahanan RI ini di Huta Goti diadakan
perundingan yang melibatkan berbagai komponen pertahanan yang berada ada di
luar kota Padang Sidempuan.
Tujuan diadakan perundingan ini
untuk menyusun strategi dalam merebut kota Padang Sidempuan dari tangan pasukan
Belanda. Kekuatan perlawanan terhadap pasukan Belanda tersebut meliputi pasukan
yang terdiri dari MMB-I Sumatera pimpinan Iptu Ibnu, pasukan MBK Tapanuli dan
Kompi Brigade-B yang dipimpin Kapten
Robinson Hutapea serta
laskar rakyat yang dipimpin Letnan
Sahala Muda Pakpahan dengan
dukungan masyarakat.
Dalam pertempuran yang
direncanakan secara matang dan terkoordinasi dengan baik terjadi cukup alot.
Pertempuran yang berlangsung selama tiga hari akhirnya dapat merebut kembali
kota Padang Sidempuan.
Setelah kota Padang Sidempuan
direbut, pasukan Belanda mundur ke Batangtoru. Namun baru berselang enam jam
kota Padang Sidempuan ke pangkuan ibi pertiwi, tiba-tiba secara mendadak muncul
dua pesawat tempur di langit Padang Sidempuan dan menembaki kota yang disusul
dengan pasukan Belanda yang melakukan putar balik di Batangtoru.
Suasana panik dan serangan darat
dari pasukan Belanda dari arah Batangtoru tidak mampu ditahan oleh gabungan
pasukan dan terpaksa harus mundur secara bertahap ke Huta Goti, Huta
Pijorkoling, Huta Pintu Padang dan akhirnya konsolidasi untuk bertahan di Huta
Huraba.
Pasukan Belanda yang sudah
menguasai wilayah Padang Sidempuan tampaknya belum puas dan khawatir terjadi
lagi perlawanan balik.
Pasukan Belanda menyusun rencana
strategis baru untuk melumpuhkan lawan dan memukul mundur sejauh-jauhnya dari
Padang Sidempuan. Karena itu, pada tanggal 5
Mei 1949 sekitar
pukul 04.00.WIB pasukan Belanda mulai melakukan penyerangan terhadap
lawan yang dilaporkan membuat pertahanan berupa benteng di Huta Huraba.
Rencana penyerangan dimulai dari
Pijorkoling dengan taktik serangan ‘holistik’ dengan cara mengepung dari empat
jurusan. Pasukan Belanda dalam hal ini dibantu oleh dua orang penunjuk jalan (scout)
yang desersi dari anggota MBK Tapanuli yang bernama Makaleo dan Syamsil Bahri.
Dalam serangan Belanda yang tidak diduga pasukan RI ini berhasil merebut
Benteng Huraba. Pasukan MBK Tapanuli dan Brigade-B mundur ke Huta Tolang.
Posisi Benteng Huraba yang
diduduki pasukan Belanda ini sangat strategis dan menjadikannya garis front
utama untuk mempertahankan wilayah Padang Sidempuan. Benteng Huraba adalah
Batas Demarkasi Sisa Sumatera Utara dan Pusat ‘Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia’ di Bukittinggi.
Karena itu pasukan Belanda
waktunya untuk melakukan pertahanan di Benteng Huraba. Sementara itu, di Huta
Tolang, Komandan MBK yang datang dari Panyabungan mengumpulkan seluruh pasukan
yang ada dan melakukan konsolidasi untuk penyerangan balasan terhadap pasukan
Belanda yang sudah bertahan di Benteng Huraba.
Dalam pertempuran di Benteng
Huraba ini pasukan gabungan memulai penyerangan pada saat fajar dengan
menggunakan mortir. Pertempuran ini terjadi sangat heroik dan membuthkan
waktu. Baru pukul 16.30.WIB pasukan gabungan berhasil memenangkan pertempuran
dan Benteng Huraba dapat direbut kembali. Pasukan Belanda yang dikalahkan
mundur ke Padang Sidempuan.
Dalam pertempuran ini ditaksir
cukup besar kerugian yang dialami oleh pihak pasukan gabungan baik jiwa maupun
materi. Dari anggota pasukan MBK Tapanuli sendiri yang gugur terdapat sebanyak
11 orang dan dari pasukan Brigade–B sebanyak 16 orang. Sementara dari barisan
laskar dan rakyat yang tergabung dalam pertempuran itu tidak pernah tercatat
berapa orang yang sudah gugur dalam pertempuran yang heroik itu.
Pada tanggal 3 Agustus 1949
gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia disepakati. Kemudian dilanjutkan
perundingan yang disebut Konferensi Meja Bundar, sebuah pertemuan antara
pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag,
Belanda dari 23 Agustus hingga 2 November 1949.
Hasil perundingan itu antara
lain dan yang terpenting bahwa kedaulatan NKRI akan diserahkan
selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949.
Benteng Huraba adalah pertahanan
terakhir dari perlawanan rakyat di wilayah Provinsi Sumatera Utara terhadap
pasukan Belanda dalam agresi militer Belanda kedua. Suatu benteng yang pada
masa ini berada di dekat Kota Padang Sidempuan di Kecamatan Batang Angkola,
Kabupaten Tapanuli Selatan.
Benteng ini lokasinya sangat
strategis yang berada di jalur lintas Padang Sidempuan ke Bukittinggi. Pada
masa dulu, Benteng ini tidak bisa ditembus pasukan Belanda hingga terjadinya
penyerahan kekuasaan dan pengakuan Belanda terhadap NKRI (27 Desember 1949).
Kini, benteng ini tidak hanya
sebagai simbol perjuangan masyarakat Sumatera di kancah nasional dalam
pertempuran sealama Perang Kemerdekaan, tetapi benteng ini juga dulu telah
menyelamatkan kota Penyabungan sebagai ibu kota pengganti Tapanuli Selatan setelah
kota Padang Sidempuan di kuasai pasukan Belanda. Juga, Benteng Huraba ini telah turut serta
dari sisi utara dalam mengamankan ibukota Republik Indonesia di Bukittinggi.
Bravo lascar dan rakyat Tapanuli Bagian Selatan.
Untuk menghormati para pahlawan
yang gugur dalam mempertahankan kemerdekaan di Benteng Huraba dan untuk
menunjukkan betapa pentingnya perjuangan rakyat Tapanuli bagian Selatan
bersama-sama dengan TNI dan Polri maka dibangunlah monumen Benteng Huraba.
Bangunan benteng yang
bentuknya layaknya ‘kastel’ dalam permainan catur ini diresmikan oleh
Kapolri Jenderal Awaloedin Djamin pada tanggal 21 November 1981.
Demikianlah eksistensi Benteng
Huraba di Padang Sidempuan (sekarang masuk wilayah Tapanuli Selatan), sebuah
benteng yang mampu menjaga pertahanan rakyat dalam perang melawan pasukan
Belanda pada tanggal 5 Mei 1949.
#bloggerpolri
#bukanbloggerbiasa
#bravopolri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar