Minggu, 27 Agustus 2017

AWAS....BERBAGAI MEDIA PENYEBAR KEBENCIAN

MEDIA-MEDIA PENYEBAR KEBENCIAN

#bloggerpolri

Tahun 1994, terjadi genosida suku Tutsi oleh suku Hutu di Rwanda. Korban dalam hitungan bulan mencapai jutaan. Kalau ingin tahu seperti apa situasi itu, coba nonton film "Sometimes in April" atau "Hotel Rwanda".

Apa yang menyebabkan pembantaian antar suku itu? Kebencian. Kebencian akan peristiwa masa lalu diungkit kembali dan disebar-luaskan oleh media. Bentrokan masa lalu antara suku Hutu dan Tutsi di Rwanda, pertama kali diangkat oleh koran Kangura lewat artikel dan kartun graphis.

Tahun 1993. situasi politik yang memanas karena mendekati pilpres, didirikanlah sebuah stasiun radio baru bernama Radio-Television Libre des Mille Collines atau RTLMC. Ini stasiun radio milik suku Hutu.

Setiap menit, para penyiarnya menyerukan kebencian kepada suku Tutsi. Mereka juga memutar lagu-lagu yang membakar semangat untuk membantai suku Tutsi yang mereka sebut "si kecoak". Karena buat mereka, suku Tutsi ibarat kecoak yang mengganggu dan untuk membunuhnya cukup dengan diinjak saja bisa mati beberapa. Mudah dan murah.

Radio Mille des Collines ini dibiayai oleh kepentingan politik yang ingin menguasai Rwanda dengan memanfaatkan kebencian antar suku.

Para penyiarnya -menurut seorang pelaku- selalu mabuk. Mereka juga menggunakan bahasa prokem dalam siaran dan menyiarkan lagu-lagu hits dengan disc jockey. Ternyata itu semua memang dibangun untuk menarik simpati orang bodoh, pengangguran dan geng preman.

Cukup setahun saja mereka menyiarkan kebencian, dan 1 juta lebih nyawa melayang.

Tertangkapnya kelompok Saracen, yang memproduksi kebencian dan hoax secara massif dengan 80 ribu anggota, membuat kita sadar bahwa media -meski modelnya sudah berbeda zaman- tetaplah efektif untuk mempengaruhi pemikiran seseorang.

Model produksinya sama seperti Radio Mille des Collines itu. Buat konten-konten dengan bahasa awam, biasakan orang membaca tulisan makian dan cacian, lalu propagandakan keresahan bahwa sudah saatnya bergerak untuk perubahan.

Sasaran Saracen sama juga, yaitu orang bodoh yang menggunakan hp pintar, para pengangguran yang resah karena tidak mendapat pekerjaan dan ormas-ormas yang begitu banyak tersebar di Indonesia. Mereka ini "sedang dilatih" untuk menjadi radikal dan garda depan ketika rencana chaos akan dijalankan.

Alasan Saracen dengan Radio kebencian di Rwanda itu juga sama, yaitu Freedom of speech atau kebebasan berbicara.

Grup Saracen hanyalah gunung es. Ia tampak besar tetapi belum keseluruhan. Di bawahnya lagi masih banyak kelompok-kelompok maupun personal yang memanfaatkan kebencian sebagai produk dagangan.

Mereka ada yang memang sadar apa yang dilakukan, dan jauh lebih banyak lagi yang hanya ikut-ikutan.

Tertangkapnya beberapa anak sekolah karena mengirimkan ujaran kebencian lewat media sosial adalah bukti bahwa sudah banyak orang yang menjadi zombie karena terpengaruh propaganda.

Kita tidak bisa hanya berteriak, "manfaatkan media sosial dengan bijak!" karena sejak pilpres 2014 sudah begitu banyak akun-akun bayaran untuk memecah belah. Yang bisa kita lakukan adalah dengan melawan. Propaganda vs Propaganda. Fight fire with fire. Hukum biar urusan pihak keamanan.

Seruput dulu kopinya karena guncangan ini belum akan reda sampai Pilpres berikutnya.

Sumber : Kabid Humas Polda DIY, AKBP Yuli Yanto




Tidak ada komentar:

Posting Komentar