SELASA, 21 Agustus 1945, pukul 07.00. Semua anggota kesatuan
Polisi Istimewa, sekitar 250 orang, berkumpul untuk mengikuti apel di halaman
depan markas Polisi Istimewa, Jalan Coen Boelevard, Surabaya –kini Jalan Polisi
Istimewa. Setelah pengibaran bendera Merah-Putih, Inspektur I Moehammad Jasin
membacakan proklamasi:
“Oentoek bersatoe dengan rakjat dalam perdjoeangan
mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945, dengan ini menjatakan Polisi sebagai
Polisi Republik Indonesia.”
Usai membacakan proklamasi, Jasin meminta semua anggota polisi
melakukan pawai siaga untuk menunjukkan kekuatan dan kesiapan tempur,
menghadapi reaksi pihak Jepang. Menggunakan kendaraan lapis baja dan truk yang
telah dipasangi bendera Merah-Putih, bergerak menuju Jalan Tunjungan, Surabaya.
Proklamasi itu menandai berdirinya Polisi Republik Indonesia
(PRI), menggantikan Polisi Istimewa (Tokubetsu
Keisatsu Tai) di mana Jasin jadi komandannya di Surabaya. Proklamasi itu
juga merupakan tekad korps kepolisian untuk menjadi garda depan menghadapi
Jepang yang masih bersenjata lengkap, meski sudah menyerah, dan mempertahankan
kemerdekaan. PRI merupakan satu-satunya pasukan terlatih yang dipersenjatai dan
berbobot tempur tinggi yang belum dilucuti Jepang.
Proklamasi itu diketik kemudian disebar dan ditempel di tepi
jalan besar. Proklamasi itu mendorong bekas pasukan bersenjata Heiho dan Pembela Tanah Air (PETA) yang telah dibubarkan untuk
mengambil-alih atau melucuti senjata Jepang.
PRI terlibat dalam upaya penyerangan dan perampasan
senjata-senjata Jepang. Dalam penyerbuan ke gedung Kempetai, yang merupakan benteng pertahanan Jepang,
Jasin berunding dengan komandan Kempetai.
Bila Kempetai menyerah
dia akan menjamin keselamatan mereka. Para pejuang pun mengambil
senjata-senjata Jepang yang tersimpan di gudang-gudang persenjataan mereka. PRI
juga menyerbu persenjataan Angkatan Laut Jepang di Embong Wungu, Gubeng, yang
berakhir dengan penyerahan persenjataan yang ditandatangani Jasin, sebagai
wakil dari Indonesia. Penyerahan senjata itu kemudian diikuti kesatuan militer
Jepang lainnya. termasuk penyerahan senjata di gedung Don Bosco, Jalan Tidar,
gudang arsenal tentara Jepang terbesar di Asia Tenggara, di mana Jasin dibantu
oleh Bung Tomo. Kota Surabaya sepenuhnya berada di bawah pengawasan kekuatan
perjuangan PRI.
Dengan senjata itu, Moehammad Jasin memimpin langsung pasukan
PRI untuk menghadapi pasukan Inggris dan Belanda, yang mendarat di Tanjung
Perak Surabaya, 25 Oktober 1945. PRI terlibat dalam Insiden Bendera di Hotel
Yamato tanggal 19 September 1945 dan pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
Pasukan PRI menunjukkan kepemimpinan dan kepeloporannya, yang pantang mundur.
Jasin mendorong pasukannya agar melancarkan serangan dan melindungi pasukan
organisasi perjuangan lain yang bergerak mundur ke pinggiran kota. Dia
menggunakan strategi perang gerilya.
“Pembela Tanah Air (PETA) yang diharapkan memberi dukungan pada
perjuangan rakyat telah dilucuti senjatanya oleh tentara Jepang. Untung ketika
itu M. Jasin tampil memimpin Pasukan Polisi Istimewa yang berbobot tempur
militer untuk mendukung dan mempelopori perjuangan di Surabaya,” ujar Bung
Tomo, pemimpin Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) yang juga salah satu
pejuang terkemuka dalam peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.
Hingga saat ini, hari lahir kepolisian diperingati setiap
tanggal 1 Juli –dikenal juga sebagai Hari Bhayangkara. Padahal peristiwa
sejarah yang menandainya hanyalah pemindahan korps kepolisian yang semula,
sejak 1 Oktober 1945, bernaung di bawah Departemen Dalam Negeri menjadi
langsung di bawah Perdana Menteri, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 11/SD
tahun 1946.
Pada 14 November 1946, Perdana Menteri Sutan Sjahrir mengganti
Polisi Istimewa menjadi Mobile Brigade (Mobrig) –kemudian disesuaikan namanya
dengan tata bahasa Indonesia menjadi Brigade Mobil (Brimob), pada 1961. Tanggal
itu ditetapkan sebagai hari jadi Korps Baret Biru, nama lain Brimob. Moehammad
Jasin, kelahiran Bau-bau, Buton, Sulawesi Selatan tanggal 9 Juni 1920, berperan
dalam pembentukannya, tugas yang diberikan Kapolri Jenderal Raden Said Soekanto
Tjokrodimodjo. Saat itu dia menjabat Kepala Kepolisian di Karesidenan Malang.
Tak salah jika Moehammad Jasin diangkat sebagai Bapak Brimob Kepolisian RI.
Kesatuan ini sejak awal terlibat dalam menghadapi berbagai gejolak di tanah
air.
Buku ini merupakan memoar Moehammad Jasin, dengan editor cucunya
sendiri, dengan niat meluruskan kembali sejarah kepolisian, khususnya
menyangkut hari lahirnya. Peristiwa Proklamasi Polisi dan aksi-aksi heroik
Moehammad Jasin –yang menurut sejarawan Asvi Warman Adam layak diusulkan jadi
pahlawan nasional– terkesan tenggelam. Patut dipertimbangkan Proklamasi Polisi
21 Agustus sebagai hari lahir polisi.
Memoar ini juga memuat perjalanan karier militer dan politik
Jasin, salah satu tokoh nasional yang melintasi beberapa generasi, juga sikap
keteladanannya. Dia sosok yang memiliki sikap; keberanian dalam mengambil
keputusan, keteladanan dalam menjalankan tugas, kesederhanaan dalam hidup,
berjiwa besar, serta tabah dalam menghadapi cobaan sebagai seorang yang
teralienasi dalam pemerintahan orde lama dan orde baru.
66 tahun yang lalu, tepatnya 14 April 1949 sekitar pukul 20.00
WIB. Hari itu, suasana di sejumlah wilayah Kabupaten Nganjuk sangat mencekam,
karena Belanda dalam agresi militer keduanya berhasil menduduki kota Nganjuk.
Situasi ini memaksa Iptu A. Wiratno Puspoatmojo, saat menjabat Kepala Polisi
Kabupaten Nganjuk (sebutan sekarang kapolres) untuk mengambil tindakan cepat.
Kapolres Wiratno memerintahkan anggotanya untuk melaksanakan patroli dan
penyisiran ke daerah pinggiran untuk mempertahankan wilayah serta melindungi
masyarakat Nganjuk. Selain itu juga untuk mencegah agar pasukan/tentara Belanda
yang berusaha memasuki wilayah Nganjuk lewat perbatasan tidak bertambah banyak.
Sedikitnya ada dua regu yang diperintah oleh Kepala Polisi
Kabupaten Nganjuk untuk patroli. Satu regu bergerak ke arah sektor selatan,
berkedudukan di Desa Nglaban Kecamatan Loceret, dipimpin langsung oleh Kepala
Polisi Kabupaten Iptu. A. Wiratno Puspoatmojo. Satunya lagi, di sektor utara
dipimpin Pembantu Inspektur Polisi II Pagoe Koesnan. Rombongan patroli sektor
utara dipimpin Agen Polisi I Soekardi, beranggotakan 17 polisi istimewa.
Rombongan sektor utara bermarkas di Dukuh Baleturi, Desa Ngadiboyo, di sebuah
Loji (sebutan bangunan Belanda ), yakni perumahan milik Perhutani Nganjuk.
Patroli dilaksanakan dengan jalan kaki, mengarah ke Dukuh Alas
Jalin, Desa Ngadiboyo. Lantaran waktu itu, minim sarana untuk mendukung tugas
Patroli. Mungkin keuntungan Patroli jalan kaki waktu itu adalah lebih bisa
menyisir wilayah-wilayah lebih ke dalam dan terpisah, sehingga gerakan mereka
tidak mudah diketahui Belanda. Selain itu, regu patroli pejuang polri lebih
menguasai medan dibandingkan dengan tentara Belanda sehingga menguntungkan
pejuang bila terjadi pertempuran. Mereka menyusuri pematang sawah, hutan, serta
pemukiman penduduk. Lokasi rumah penduduk satu dengan lainnya masih berjauhan,
membuat para polisi istimewa lebih waspada, sigap dan siaga dalam melaksanakan
tugas patroli.
Sekitar tengah malam, patroli hingga sampai Dusun Alas Jalin,
perbatasan Nganjuk – Madiun. Para patroli istimewa bertemu tentara Belanda yang
bermarkas di wilayah Saradan, Kabupaten Madiun. Akhirnya terjadi kontak senjata
antara kedua belah pihak. Sebenarnya pihak pejuang menyadari kekuatan kedua
belah pihak tidak berimbang. Di pihak musuh (Belanda) dilengkapi senjata lebih
modern dibanding senjata yang dimiliki para pejuang, jenis US Karabijn 95. Tak
heran, para pejuang berhasil dipukul mundur dan patroli dihentikan. Para
pejuang kembali ke markas semula di Loji, Dusun Turi, Desa Ngadiboyo, sekitar
pukul 03.20 WIB. Mereka beristirahat hingga tertidur karena kelelahan setelah
melakukan ptroli.
Tidak menyangka, ternyata pelarian para pejuan diikuti terus
oleh tentara Belanda. Hingga sampai ditemukan markas para pejuang di Dusun
Turi, Desa Ngadiboyo. Para pejuang yang sudah terlelap tidur tidak mengira sama
sekali, bahaya telah mengancam. Tiba-tiba tentara Belanda menyerang markas dari
arah selatan Loji. Mengetahui serangan berasal dari tentara Belanda, para
pejuang lebih memilih bertahan dalam kegelapan Loji, tanpa sorot lampu. Pagi
yang gelap gulita itu, memaksa tentara Belanda mendobrak pintu Loji dan memaksa
masuk, mencari persembunyian para polisi. Dengan membawa lampu “belor”,
mengantarkan cahaya lampu itu ke persembunyian para pejuang. Dengan nada keras,
tentara Belanda memaksa para pejuang untuk keluar dari persembunyiannya dan
berkumpul di halaman. Namun tak satupun para pejuang menuruti perintah tentara
Belanda.
Tentara Benlanda percaya bahwa para pejuang tidak lagi memiliki
kemampuan untuk menyerang balik, lantaran persenjataan dan amunisi yang
dimiliki sudah menipis saat serangan di perbatasan Nganjuk – Madiun. Perintah
untuk keluar tidak dituruti oleh para pejuang, hingga terpaksa tentara Belanda
memaksanya keluar.
Dua orang tentara Belanda terus mendobrak masuk dan mengarahkan lampu “belor”
ke seluruh ruangan. Seorang membawa senjata lengkap sambil menenteng lampu
“belor, satunya lagi mengawal temannya dengan terus berteriak,
“keluar…keluar…”. Sepasukan lainnya berjaga-jaga di luar Loji.
Saking jengkelnya, akhirnya tentara Belanda berhasil meyeret para pejuang ke
luar ruangan untuk berkumpul di halaman. Mereka berdiri berjajar sambil
mengangkat tangan. Aksi tutup mulut dari pihak para pejuang terus terjadi
hingga menyulut kegeraman pihak tentara Belanda. Lebih-lebih, saat ditanya,
apakah di dalam Loji telah tersimpan senjata, tidak mendapat jawaban.
Tiba-tiba, Belanda memberondongkan amunisinya ke tubuh para pejuang. Karuang
saja, mereka menjadi kocar-kacir, dan bergelimpangan bersimbah darah segar.
Sebanyak 12 orang meninggal di tempat, tiga orang luka berat, dan dua orang
berhasil melarikan diri. Selesai melakukan penyerangan, Tentara Belanda kembali
ke markasnya, di Saradan.
Tiga korban luka berat, yakni Lasimin, Sukidjan alias Oeripno, dan Suparlan.
Sedangkan dua pejuang yang berhasil lolos, yakni Agen Polisi II Ramelan dan
Agen Polisi II Suripto. Ramelan kabur dari kepungan tentara Belanda dengan
membobol pintu belakang Loji. Mereka bersembunyi dalam parit belakang Loji,
lalu berlari dengan membawa senjata rekan – rekannya yang telah gugur ditembak
tentara Belanda. Ramelan berlari menuju Pos Wedegan, Kecamatan Rejoso untuk
minta bantuan Pembantu Inspektur Polisi I Pagoe Koesnan.
Bersamaan suara keras tembakan dari arah Desa Ngadiboyo, di tempat lain,
Kesatuan Batalyon Guritno langsung bergerak mencari sumber ledakan. Dalam
perjalanan sekitar 8 kilometer, salah satu anggota batalyon Guritno, Satimin
menghampiri warga masyarakat sedang membawa tiga korban luka berat menuju Pos
Kesehatan Tentara di Desa Ngujung, Kecamatan Gondang. Saat ditanya, salah satu
korban menjawab, “Saya korban pertempuran Turi.”
Menerima laporan, Pagoe Koesnan langsung langsung bergerak
menuju ke Loji Dusun Baleturi Desa Ngadiboyo bersama sejumlah warga Rejoso.
Mereka langsung menolong korban yang masih hidup dan mengevakuasi jenazah para
pejuang yang gugur. Evakuasi berlangsung selama sekitar dua jam tersebut,
dipimpin Kepala Polisi Kabupaten Iptu. Purn. Wiratno Puspoatmojo. Korban hidup
dilarikan ke Pos Kesehatan Tentara di desa Ngujung – Gondang. Sedangkan,
pejuang yang gugur, jenazahnya dimakamkan di Desa Balonggebang Kecamatan
Gondang.
Pertempuran para pejuang polisi istimewa melawan tentara Belanda, 15 April 1949
tersebut dikenang sebagai “Tragedi Ngadiboyo”. Sedikitnya 12 pejuang polisi
meninggal, 3 luka berat, dan dua selamat, di lokasi (Loji milik Perhutani)
Dusun Baleturi, Desa Ngadiboyo, Kecamatan Rejoso. Untuk mengenang jasa
perjuangan para polisi istimewa yang gugur mempertahankan kemerdekaan RI, 15 di
lokasi tersebut dibangun sebuah monumen “Tragedi Ngadiboyo”.
Dalam pertempuran Ngadiboyo, 12 pejuang Polri gugur, yaitu; (1) Agen Pol Kelas
II Bagoes, (2) Agen Pol Kelas II Diran / Sogol, (3) Agen Pol Kelas II Laiman,
(4) Agen Pol Kelas II Soekatmo, (5) Agen Pol Kelas II Moestadjab, (6) Agen Pol
Kelas II Soemargo, (7) Agen Pol Kelas II Sardjono, Agen Pol Kelas II Saimun,
(8) Agen Pol Kelas II Samad, (9) Agen Pol Kelas II Masidi, (10), (11) Agen Pol
Kelas II Simin, dan(12) Agen Pol Kelas II Musadi.
Korban luka berat; (1) Agen Polisi K II Sukidjan / Oeripno, (2) Agen
Polisi K II Lasimin, (3) Agen Polisi K II Suparlan.
Korban yang masih hidup dan selamat; Agen Polisi K II Ramelan dan Agen
Polisi K II Suripto.
Tiap tahun, bertepatan dengan HUT BHAYANGKARA, 1 Juli selalu dikenang kembali
jasa-jasa mereka sebagai para pejuang bangsa dalam rangka mempertahankan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Bertepatan 1 Juli pula, Polres Nganjuk beserta
jajaran selalu melaksanakan upacara ziarah nasional di monumen “Tragedi
Ngadiboyo”. (*)
Saksi Sejarah:
1. Letkol Pol (Purn) Pagoe Koesnan, lahir di Ponorogo, 25
Desember 1919. Mempunyai seorang Istri, Siti Soeketji. Alamat terakhir di Jl.
Cendana 53, Desa Singonegaran Kecamatan Pesantren Kodya Kediri. Dinas terakhir
di Kores 1022 Malang , pangkat terkahir Letkol. Pol. Purn.
Nrp. 19120018. Pendidikan Umum HIS dan Sekolah Tekhnik, sedangkan pendidikan
Militer / Polisi adalah Reqrut Junsa Kotoka Ins.Pol Ulangan di Sukabumi tahun
1943. Tanda jasa yang dimiliki adalah Satya Lencana Penegak.
Mendaftarkan sebagai anggota Polisi, 1 Juli 1943, dan pendidikan di Sekolah
Polisi Sukabumi. Kemudian lulus tahun tanggal 1 Januari 1944 dengan pangkat
Agen Polisi K III dan ditempatkan di Kantor Polisi Kota Kediri.
Pada tanggal 1Juni 1945, Pagoe Koesnan dipindahkan di Sekolah Polisi Sukabumi
di bagian Kotoka. Kemudian dikembalikan dinas lagi di daerah yaitu menjadi Komandan
Polisi di Kantor Polisi Nganjuk pada tanggal 1 Nopember 1947. Tanggal 1 Januari
1947 diangkat menjadi PIP K II. Mendapat kedudukan sebagai Negeri Tetap pada
tanggal 1 Januari 1950 dengan Skep No. Pol. : 2/99/32, tanggal 17 Juli
1952. Pada tahun 1952, mendapat kenaikan pangkat menjadi Agen Polisi K I pada
tanggal 1 Agustus 1952, kemudian pada 1 Desember 1952 dipindahkan tugasnya ke
Kantor Polisi Kota Kediri.
Pagoe Koesnan pernah juga menjabat sebagai Kepala Polisi Seksi II Kota Kediri
selama 8 bulan, terhitung mulai tanggal 31 Januari 1954 sampai dengan 28
September 1954. Naik pangkat ( diherschik ) menjadi Inspektur Polisi K II pada
tanggal 1 April 1954.
September 1954, beliau dipromosikan dan menduduki jabatan sebagai Kepala
Kepolisian Wilayah Wlingi-Blitar. Mengikuti Pendidikan tambahan Inspektur
Polisi ke VI pada tahun 1959. Pada tanggal 1 Oktober
1959, dipindahkan pada Kantor Polisi Resort Kediri
di Pare.
Berpangkat Pembantu Inspektur Polisi I ketika terjadinya Tragedi Ngadiboyo.
Menjabat Komandan sektor utara bermarkas di Dusun Wedegan, Desa Sambikerep
Kecamatan Rejoso. Salah satu Pemrakarsa pemugaran / pemasangan Prasasti Monumen
Tragedi Ngadiboyo, Pagoe Koesnan mengusulkan pada waktu pemugaran, tugu tidak
perlu diubah. Hanya kalimatnya saja yang diganti, yaitu : “Di sini telah gugur
Polisi Kabupaten Nganjuk dalam pertempuran melawan Belanda pada bulan April 1949”
Di bawah kalimat di atas, dituliskan nama – nama pejuang yang gugur dalam
pertempuran Ngadiboyo. Landasan tugu / monumen cukup diubah landasannya saja.
Jumlah trap diganti dari 4 menjadi 3 yang melambangkan TRI BRATA. Lantai
Monumen dibuat segi lima melambangkan Pancasila. Hal itu menurut beliau Koenan
berarti gugurnya para pejuang adalah menepati Tri Brata dalam mempertahankan
Pancasila.
2. Peltu Pol (Purn) Ramelan ( almarhum ).
Masih berpangkat Agen Polisi II ketika terjadinya Tragedi Ngadiboyo tahun 1949.
Tergabung dalam Regu Patroli Sektor Utara yang dipimpin Agen Polisi I Soekardi.
Merupakan salah satu korban yang selamat dari Aksi penyerangan Belanda. Dan
satu – satunya saksi sejarah yang terlibat langsung dalam Tragedi Ngadiboyo
sehingga merupakan sumber sejarah yang bisa dipertanggungjawabkan kebenaran
kisah ceritanya. Pensiun dengan pangkat Peltu.
Ramelan bersama 10 rekan seperjuangannya (Djasman, Sukardi, Harjani, M.Najib,
Suripto, Munadi, Maidi, Senen, Dani dan Sabi) pernah bergabung dengan pasukan
dari BODM Daerah Bagor – Nganjuk, untuk mengadakan penghadangan Tentara
Belanda. Meledakkan jalan dan jembatan – jembatan yang sering dilewati rombonga
tentara Belanda. Kemudian mereka bertemu dan bergabung dengan BARA (
Barisan Rahasia ) untuk bergerilya di wilayah Kota Nganjuk dan sekitarnya.
Kemudian ke wilayah Ngluyu selama 1 minggu dan disana diserang pesawat milik
Belanda. Gerilyawan bergerak keselatan menuju Kedungombo melewati wilayah
Kecamatan Gondang, Sukomoro dan Pace (Kecubung). Selama perjalanan, mereka
membongkar jembatan – jembatan yang telah diperbaiki Belanda untuk mobilitas
dan saling berhubungan dengan markas Belanda di daerah lain.
Selama 3 hari di Kedungombo, mereka diserang lagi oleh Tentara Belanda yang
bermarkas di Mrican – Kediri. Mereka mundur ke wilayah Joho – Pace selama 3
hari. Kembali Belanda menyerang, mereka pindah ke daerah Ngetos selama 7
hari. Gerilya diteruskan ke wilayah Sawahan. Di sana mereka menghadang iring –
iringan tentara Belanda dan terjadi baku tembak. Gerilyawan pejuang berhasil
merebut senjata otomatis (Bren) milik Belanda. Gerilya dilanjutkan di wilayah
Berbek dan terakhir di Bagor sampai kembalinya kedaulatan ke Pemerintah RI,
mereka kembali ke Induk Kepolisian masing-masing.
3. Lettu Pol (Purn) Satimin
Satimin adalah orang asli Nganjuk, sekarang bertempat tinggal di Desa Ngadiboyo
Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk, dekat Monumen Ngadiboyo. Saat
tragedi Ngadiboyo, Satimin seorang anggota prajurit Tentara Batalyon Guritno.
Hanya, sekitar bulan Maret 1950, Satimin mengundurkan diri sebagai tentara
dengan alasan untuk bertani.
Tiga tahun mengundurkan diri sebagai tentara, Satimin mendaftarkan diri untuk
menjadi anggota polisi pada Bulan Juli tahun 1953 di Kantor Polisi Kabupaten
Nganjuk, dan diterima dengan tempat pendidikan di PPUK Porong (Pusat
Pendidikan Ulangan Kepolisian di Porong) yang waktu itu masih merupakan Pabrik
Gula peninggalan Belanda. Lulus Pendidikan tahun 1954 dengan pangkat Agen
Polisi K II.
Pada tahun itu juga ada pembentukan pasukan khusus Polri yaitu Brimob. Satimin
kemudian ditarik untuk menjadi anggota Brimob dan masuk pendidikan tambahan
lagi selama 3 bulan. Kemudian ditempatkan di Kompi 5480 Brimob Porong. Pada
Tahun 1957, Kompi 5480 Brimob Porong dikenal dengan sebutan Kompi Nakal. Karena
memang ketika itu seluruh anggotanya selalu bergerak bersama – sama di manapun
mereka berada. Kemudian Kompi 5480 dilebur, dipecah. Anggotanya tersebar di
seluruh Indonesia. Sebuah bentuk sanksi dari sebuah kesalahan yang dilakukan
bersama-sama dengan teman – teman satu Kompi. Beliau ditempatkan dinas di
Kendari, Sulawesi Tenggara. Tepatnya di Polres Kendari sebagai Polisi Umum.
Setelah berdinas selama 7 tahun di Polres Kendari, tahun 1964 orang tua Satimin
meninggal dunia. Kemudian dia mengajukan pindah dinas untuk pulang ke Nganjuk
pada tahun 1965, di mana waktu itu situasi Indonesia terjadi Pemberontakan
G30S/PKI. Satimin ditempatkan di Polsek Sawahan ( berpangkat Sersan ).
Sehabis tertumpasnya G30S/PKI, Satimin ditarik kembali ke Resort Nganjuk.
Karir kepangkatannya naik, berjalan mulus tanpa hambatan dan menjabat sebagai
Karo Personil Resort Nganjuk.
Pada tahun 1975, Satimin masuk mendataftarkan diri untuk mengikuti seleksi
Sekolah Calon Perwira ( Capa ). Beliau diterima dan lulus dengan pangkat Letda
Pol. Dia kembali bertugas di jajaran Resort Nganjuk tahun 1976 dan menjabat
sebagai Kapolsek Ngluyu. Kemudian pada tahun itu juga, beliau mendapat tugas ke
Timor Timur ( Ops Seroja ) selama 11 bulan dan di sana menjabat sebagai
Kapolsek dengan anggota Brimbo sebanyak 1 Peleton dari Kompi 18 Pekalongan.
Sekembali dari tugas di Timtim, kembali ke Resort Nganjuk dan menjabat sebagai
Kapolsek Patianrowo, Kapolsek Wilangan dan terakhir Kapolsek Lengkong.
Mengajukan MPP dan Pensiun pada usia 55 tahun.(*)
Dikutip dari berbagai sumber
#bloggerpolri
#bukanbloggerbiasa
#bravopolri
#bloggerpolri
#bukanbloggerbiasa
#bravopolri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar